Ekoliterasi sebagai Pena Merah Putih ke-75 untuk Indonesia Jaya
Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri, kata Bung Karno. Pernyataan Sang Proklamator ini tak lekang digerus waktu. Meski tiada lagi penjajah, masih banyak rakyat yang tertindas secara sistematis, sekali pun Indonesia telah merayakan usia yang ke-75.
Penindasan sitematis
ini muncul karena lunturnya spirit kesatuan dan keadilan. Pudarnya kedua nilai
ini menjadikan “kemerdekaan” hanya dirasakan segelintir orang. Sedangkan sejumlah
besar rakyat senantiasa dibelenggu oleh pelbagai permasalahan. Belenggu permasalahan
itu menyata dalam kasus seperti: kemiskinan struktural, ketidakadilan
pembangunan, perdagangan manusia, tindakan persekusi berbalut SARA, dsb.
Permasalahan tersebut
menegaskan bahwa semangat perjuangan tidak boleh kendur. Demi kebaikan bersama
seluruh elemen masyarakat mesti berjuang memerangi bentuk-bentuk penjajahan
baru tersebut. Sesungguhnya perjuangan ini sudah, sementara dan akan terus kita
hidupkan.
Buah perjuangan ini
telah kita rasakan juga di usia ke-75 ini. Meski pun kerap dikungkung aneka
persoalan, kita patut bersyukur bahwasanya Indonesia terus berjuang hingga mencapai
pertumbuhan dan perkembangan baik. Namun, hal ini patut menjadi api yang
senantiasa membakar semangat perjuangan agar seluruh tumpah darah Indonesia
terbebaskan dari segala belenggu penindasan.
Eksploitasi
Alam: Penindasan Baru
Sebagaimana telah
diangkat beberapa contoh bentuk penindasan di atas. Patut disadari bahwa
terdapat pula model penindasan jenis baru, ialah eksploitasi lingkungan hidup.
Eksploitasi ini mengakibatkan krisis ekologi yang kurang disorot, karena itu
pada bagian ini akan ditilik selayang pandang.
Indonesia dikenal
sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Setiap kepulauannya
memiliki potensi untuk dimanfaatkan sumber daya alamnya. Sayangnya demi
mengolah potensi tersebut lingkungan hidup menjadi korban eksploitasi.
Contohnya penebangan pohon demi membuka kawasan pabrik, tanpa disertai
pengganti lahan hijau demi menjaga keseimbangan ekosistemnya.
Adapun belenggu
eksploitasi ini amat menonjol dalam hal pertambangan. Sering dijumpai pada
pemberitaan media massa tentang protes warga yang menolak tambang di daerah
tempat tinggalnya.
Eksplotasi alam ini
dapat disebut sebagai bentuk penjajahan baru. Sebab kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwasanya praktik pertambangan tidak memenuhi AMDAL dan merugikan
masyarakat lokal. Adapun eksploitasi secara berlebihan ini memicu pencemaran
lingkungan dan mengganggu kesehatan warga di sekitar pabrik pertambangan.
Dengan melihat secara
garis besar persoalan eksploitasi alam, sudah saatnya seluruh komponen
masyarakat terlibat untuk mencegah krisis lingkungan hidup. Teristimewa kaum
muda sebagai pionir bangsa mesti proaktif menyuarakan keadilan ekologis. Sebab
hal ini amat penting bagi keberlanjutan Republik Indonesia. Bagaimana mungkin
sebuah negara dapat berjalan baik tanpa ditunjang oleh keseimbangan dan kelestarian
alam lingkungannya?
Perjuangan
di Bidang Ekoliterasi
Sonny A. Keraf, Menteri
Lingkungan Hidup (1999-2001), menuliskan bahwa perilaku eksploitatif dan tidak
peduli kepada alam dipengaruhi oleh kesalahan cara pandang dan perilaku. (Keraf,
2014: 79). Manusia telah terjebak pada pemikiran antroposentrisme, yang
membuatnya berpandangan bahwa segala sesuatu berpusat pada dirinya, sedangkan
segala sesuatu di luar dirinya tak bernilai. Jadi, karena alam berada di luar
dan tak memiliki nilai intrinsik, maka dapat dieksploitasi demi pemuasan
keinginan manusia.
Pendasaran ini membangun
kesadaran baru dalam perjuangan ekologi. Bahwasanya manusia mesti beralih pada
pandangan yang berorientasi pada lingkungan hidup, yakni biosentrisme.
Peralihan menuju sudut pandang yang baru ini mesti ditanamkan dalam diri setiap
generasi penerus bangsa, demi terciptanya kecintaan dan kepedulian pada
lingkungan hidup. Inilah titik tolak kaum muda dalam perjuangan di bidang
ekologi. Sebuah langkah kecil, tetapi membangun pola kesadaran baru untuk
mencintai dan menghargai alam lingkungan.
Selanjutnya, aksi nyata
yang dapat diupayakan oleh kaum muda ialah melalui ekoliterasi. Upaya
mengedukasi peran lingkungan hidup melalui literasi ini menjadi alternatif yang
ideal. Sebab proses edukasi tersebut turut berkontribusi dalam menanamkan pilar
kecintaan dan kepedulian pada lingkungan hidup.
Salah satu gerakan
ekoliterasi tersebut diprakarsai oleh SimpaSio Institute, sebuah lembaga
pengarsipan dan pengkajian sosial-budaya di Larantuka, Flores Timur. Komunitas
ini hadir dalam bentuk perpustakaan, taman baca, dan ruang kreasi bagi
anak-anak dan remaja. (Pos Kupang, 09 Agustus 2018).
Contoh kegiatan yang
telah mereka lakukan ialah kemah literasi sains bagi siswa SD kelas IV sampai
VI. Kegiatan yang dipenuhi dengan banyak aktivitas yang mengajarkan perihal
berelasi dengan alam; berkebun, berkreasi dengan kerajinan tangan dari bahan
daur ulang, dsb. Geliat komunitas ini secara perlahan telah memberikan
pemahaman tentang bagaimana berelasi dengan lingkungan hidup sejak dini. Karya
komunitas SimpaSio menandaskan bahwa ekoliterasi menjadi sebuah langkah
aplikatif dalam merintis perjuangan bagi kelestarian alam lingkungan.
Kini, kaum muda
milenial mesti meneruskan semangat perjuangan bangsa Indonesia. Upaya ini dapat
diteruskan di bidang lingkungan hidup dengan menggalakkan ekoliterasi.
Sebagaimana intensi dari judul tulisan ini, maka ekoliterasi menjadi pena merah
putih ke-75 bagi Indonesia. Pena berkualitas yang turut menorehkan kejayaan
bangsa dalam perjalanan waktu dengan menjaga keseimbangan alam lingkungan demi
terciptanya kebaikan bersama bagi seluruh tumpah darah Indonesia. (@yosebataona)
Tidak ada komentar